14 Fakta Di Distrik Iwur Kab. Pegunungan Bintang Papua.
Satu tahun hidup di pedalaman tanah
Papua, khususnya di distrik Iwur –Pegunungan Bintang membuat saya mengenal
keunikan yang ada di dalamnya. Semua ini
berdasarkan hasil pengamatan terhadap alam,
hasil wawancara kepada masyarakat setempat dan juga teman sejawat. Berikut 14 fakta yang ada di distrik Iwur,
S 1. Surga Pisang
Latar belakang foto kami, banyak pohon pisang yang tumbuh dengan rindang disana |
Sejauh mata memandang, ketika kamu berada di distrik Iwur, kamu pasti akan dapati banyak sekali pohon pisah. Daunnya yang lebat membuat pohon pisangpun menjadi rindang. Di setiap pekarangan rumah warga pasti ada pohon pisang, dan tidak hanya 1, 2, atau 3 pohon, akan tetapi dalam satu pekarangan rumah pasti memiliki lebih dari 5 pohon pisang. Ada banyak jenis pisang disini, antara lain, pisang kapok, pisang barlin (masyarakat sering disebut pisang nona), pisang raja, dan pisang tanduk yang memiliki ukuran panjang. Warga masyarakat tak hanya menanam pisang di pekarangan rumah saja, namun juga di kebun. Hingga ada satu tempat yaitu diseberang sungai Digoel yang hanya di tanami dengan pohon pisang.
Masyarakat juga sering menjual
hasil kebunnya ke kota. Sebab di distrik Iwur pisang memang melimpang, satu
pohon berbuah, pohon yang lain ikutan berbuah. Begitu seterusnya, hingga tak
pernah henti pisang berbuah masak, yang ada sampai busuk-busuk. Oleh sebab itu
masyarakat banyak yang menjualnya ke kota, dengan cara mengangkut (dipikul)
lewat jalur darat , atau jalur udara dengan naik pesawat jika ada pesawat
singgah ke distrik. Harga pisang persisir di kota bisa mencapai Rp. 50.000.
Istiewa bukan???
P 2. Pisang = Nasi
Bagi masyarakat iwur, buah pisang
adalah teman hidup mereka. Setiap hari tak pernah di lalui tanpa makan pisang.
Jika pagi hari kita bertanya pada anak murid, “Sarapan apakah kalian pagi ini?”
dengan lantang 80% anak murid pasti
berteriak “pisang”. Ya… entah itu pisang sudah masak ataupun belum. Jangan
terkejut ya.. sebab disini pisang belum masak (masih hijau) juga bisa di makan.
Bagaimana cara mereka makan???, hmmm dengan membakarnya kemudian di makan
bersama garam atau rica. Mereka lebih
suka makan pisang dengan cara seperti itu daripada di olah menjadi pisang
goreng ataupun di kukus.
3. Dua Bendera
Jika kalian memasuki wilayah distrik
Iwur kalian pasti akan mendapati 2 bendera yang berdiri berdampingan. Kecuali
bendera yang berkibar di depan pos TNI, Kantor distrik dan lapangan
sekolah. Selain 3 tempat tersebut
bendera merah putih pasti di damping dengan bendera berwarna putih, merah dan
hitam. Bendera ini terdiri dari dua bagian, ¼ bagian bendera berwarna putih
dengan aksen berbentuk menyerupai bintang berwarna merah pada bagian tengahnya.
Sedangkan sisanya adalah garis-garis berwarna merah dan hitam.
Bendera merah putih yang didampingi bendera OSEA |
Kedua bendera ini berdiri
berdampingan dan memiliki ketinggian yang hampir sama. Padahal sebenarnya,
bendera merah putih tetap lebih tinggi sedikit. Bendera tersebut adalah bendera
OSEA yaitu sebuah orgaisasi yang berkembang di wilayah Pegunungan Bintang. Jika kita menanyakan hal ini pada warga distrik
Iwur mereka pasti menjawab jika OSEA semacam partai politik, dan bukan untuk
menuntut kemerdekaan seperti OPM (padahal
kebanyakan anggota OSEA juga ex OPM).
Yang perlu diperhatikan disini,
pemasangan dua bendera membuat anak-anak bingung ketika ditanya apa warna
bendera Negara Indonesia. Selain itu saya seringkali masih mendapati siswa
menggambardua bendera saat saya memberi tugas menggambar yaitu bendera merah
putih dan didampingi dengan bendera OSEA.
4. Basis OSEA di Kampung Wetkim
Bendera yang selalu
mendampingi bendera merah putih di
distrik Iwur adalah bendera OSEA. OSEA
adalah singkatan dari Organisasi Serikat Ekonomi Aman, yaitu suatu organisasi
yang menuntut nasib hak bangsa untuk merdeka. Ketuanya ada di kampong Wetkim distrik Iwur
a.n Agustinus. D. Kapropka. Bendera tersebut tetap ada di distrik Iwur karena
mayoritas masyarakatnya adalah anggota OSEA. Mereka beranggapan bahwa Papua
adalah anak didik NKRI dan suatu saat ketika waktunya tiba papaua sudah mandiri
mereka akan di ijinkan NKRI untuk berdiri sendiri / merdeja membentuk Negara
sendiri. Organisasi ini bukan hanya menyiapkan bendera, namun juga telah
menyiapkan mata uang dan juga 4 sila pengganti pancasila. Hmm entah darimana
pemikiran dan sokongan dana yang mereka dapat….
Proses pembakaran batu |
Dibalik hutan rimba dan semua
kekayaan alam yang ada di Pegunungan Bintang , ada salah satu tradisi unik yang
tetap dilestarikan hingga saat ini. Seperti suku-suku lain di Indonesia,
masyarakat distrik Iwur juga memiliki
tradisi bersyukur yang unik dan khusus.
Salah satunya adalah acara bakar
batu. Pesta ini berasal dari suku-suku pegunung.
Uniknya dalam proses memasak, makanan dimasak dengan batu yang dipanaskan
terlebih dahulu. Pesta memasak tradisional ini dapat dibagi menjadi tiga tahap,
yakni tahap persiapan, babi panggang, dan puncaknya saat makan bersama.
Hidangan bakar batu siap di bagikan kepada warga yang hadir |
Persiapan diawali dengan
penyembelihan babi dengan di panah. Setelah itu babi di potong menjadi beberapa
bagian, dan di cuci sekedarnya saja (tidak terlalu bersih, sehingga darah
terkadang masih ada di daging yang akan di bakar). Di tempat lain biasanya dilakukan oleh
mama-mama menyiapkan tempat pembakaran yaitu berupa lubang sedalam 20-30 cm.
Dasar lubang ditutupi dengan rumput dan daun pisang. Kemudian daging babi di
tata di atas daun pisang tersebut bersama sagu, umbi-umbian, sayuran, dan juga
buah pisang yang tak pernah di tinggalkan. kemudian di tutup kembali dengan
daun pisang hingga semua bahan tidak terlihat.
Hidangan bakar batu untuk pendatang (muslim) |
Sementara di tempat terpisah,
batu dengan ukuran sedang di bakar bersama dengan kayu bakar hingga batu
berubah memerah. Proses selanjutnya adalah memindahkan batu pada tempat pembakaran yang telah disiapkan. Batu disusun
rapi hingga menutupi semua bagian. Hal ini dilakukan agar uap panas dari batu
tidak menguap. Proses memasak ini berlangsung selama setengah jam, setelah itu
batu di bongkar dan daging siap di santap.
Masyarakat biasanya makan bersama-sama
atau membaginya pada daun pisang untuk setiap warga yang ikut dalam acara
tersebut. Semua makanan yang telah melalui proses bakar batu di bagi rata
hingga tak tersisa. Pesta bakar batu memiliki makna sebagai ungkapan syukur
terhadap alam dan berbagi untuk sesama. Pada awalnya bakar batu adalah tradisi
keluarga, namun sekarang tradisi ini sudah menjadi warisan leluhur yang
dilestarikan oleh masyarakat untuk memperingati hari-hari besar, seperti natal,
paskah, tahun baru, pengangkatan kepala distrik, merayakan kelulusan siswa dan
perayaan-perayan lainnya.
6. Penyakit Malaria
Malaria memang menjadi penyaki
endemik dan momok bagi pendatang jika menginjakkan kaki di tanah Papua. Distrik Iwur yang berada di lembah Pegunungan
Bintang membuat wilayah ini menjadi pertemuan antara dua suhu, yaitu panas dan
dingin. Tempat ini sangatlah cocok untuk perkembangbiakan nyamuk penyebab
malaria. Penyakit ini paling sering
ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gigitan
nyamuk memasukkan parasit dari air liur nyamuk ke dalam darah seseorang. Malaria menyebabkan gejala seperti demam,
kelelahan, muntah, dan sakit kepala. Dalam kasus yang parah dapat
menyebabkan kulit
kuning, kejang, koma, atau kematian. Gejala biasanya muncul sepuluh
sampai lima belas hari setelah digigit. Jika tidak diobati, penyakit mungkin
kambuh beberapa bulan kemudian.
Uniknya di distrik Iwur, penyakit
malaria sudah seperti penyakit flue biasa bagi masyarakatnya. Tak jarang dari siswa yang tetap berangkat
sekolah meski badan demam dan kepala pusing.
Mereka ngotot tetap mengikuti pelajaran dan juga ikut bermain dengan
teman –teman yang lain saat jam istirahat datang. Hal ini sangat jauh berbeda dengan para
pendatang. Bagi kami, saat malaria menyerang itu tandanya kita harus istirahat
total. Pusing, mual, lemas, demam, yang mendera membuat kita lemastak berdaya
dan berujung pada pemasangan powerbank
(baca infus) untuk mensuplai energi.
Mungkin memang daya tahan tubuh
kami berbeda dengan masyarakat asli yang memang sejak kecil sudah bersahabat
dengan penyakit ini. Tak jarang banyak ibu-ibu hamil yang mengalami sakit
malaria, bahkan hingga menguning, jadi tak jarang pula ditemukan kasus bayi
baru lahir juga sudah mengidap penyakit malaria. Angka kematian karena kasus malaria juga
sangat tinggi. Terutama disebabkan oleh terlambatnya penanganan karena obat dan
peralatan yang adad di puskesmas sangat terbatas dan akses menuju kota yang
sulit menjadi kendala utama dalam menangani penyakit ini. Manusia yang mampu
tumbuh hingga dewasa di kawasan distrik Iwur adalah mereka yang sudah mengalami
seleksi alam yang sangat ketat. Mereka adalah manusia yang kuat dan pilihan.
7. 7. Dapur adalah pusat segala
aktivitas.
Salah satu siswa sedang sakit dan tetap beristirahat di dapur |
Masyarakat Iwur senang sekali
jika berkumpul di depan tungku. Setiap rumah pasti memiliki rumah panggung di
belakang rumah semi permanen yang dibuatkan oleh pemerintah. Rumah semi
permanen tersebut memiliki dua kamar dan satu kamar mandi. Namun rata-rata
masyarakat tidak memanfaatkan rumah tersebut dengan baik. Mereka memilih untuk
membangun rumah tambahan yang berbahan pelepah sagu untuk dinding dan alasnya
serta daun sagu untuk bagian atap. Rumah seperti itu dapat bertahan hingga 2
tahun.
Tak ada sekat pada rumah pelepah
sagu tersebut, hanya tungku sebagai tempat perapian yang diletakkan dibagian
tengah. Di bagian tepinya mereka sering meletakkan segala macam hasil bumi,
seperti sagu, umbi-umbian, pisang dll sebagai persediaan makanan. Selain
digunakan untuk memasak, mereka juga sering melakukan semua aktifitas di tempat
tersebut, termasuk tidur. Mereka selalu tidur bersama semua anggota keluarga,
entah itu bapak, mama, kakak, adik, saudara jauh, ataupun dekat, semua tidur bersama
di tepian tungku. Tak jarang pula saya melihat babi kecil, dan anjing ikut tinggal
bersama dalam rumah pelepah sagu tersebut.
Lalu bagaimana dengan rumah semi
permanennya?. Masyarakat Iwur hanya menggunakanya sebagai tempat menyimpan
barang seperti jubi, peralatan berburu, baju, dan perlengkapan yang lain.
8. Pasar tak berpenghuni
Makan Mie bersama di dapur salah satu rumah siswa |
Di Iwur ada satu tempat yang dibangun
untuk digunakan sebagai pasar. Bangunan semi permanen tersebut berada di
samping rumah dinas guru SM3T. Namun, dari keterangan masyarakat, dari awal
pasar tersebut didirikan, yaitu pada
tahun 2011 (kalau tidak salah), hingga
saat ini tidak pernah difungsikan sebagai pasar. Masyarakat lebih suka menjual
hasil kebunnya di kota, atau hanya di depan rumah masing-masing. Ada sebagian
masyarakat yang membuka kios di rumah untuk menjual sembako. Sehingga bangunan
yang terbuat dari kayu tersebut tidak difungsikan dan rusak ditelan cuaca. Hmm…
saying sekali bukan…
8. Jembatan tali tiga
Jembatan rotan yang harus di lalui untuk sampai kota kabupaten |
Jika kalian berkunjung di distrik Iwur dan menempuh jalur darat kalian akan merasakan sensasi berjalan di jembatan rotan. Yap.. jembatan yang melintasi sungai Digoel ini memiliki panjang lebih dari 30 meter yang menghubungkan distrik Iwur dengan jalan utama menuju kota kabupaten. Entah sejak kapan jembata ini ada, namun jembatan ini telah dilengkapi seling (tali berbahan besi) yang di kaitkan di antara dua pohon disisi kiri dan kanan jembatan. Sehingga jembatan ini sedikit lebih aman.
Akan tetapi itu bukan berarti
aman dari terjangan air sungai Digoel. Jika sungai meluap tak jarang jembatan
inipun ikut terbawa arus hingga terputus. Semasa saya bertugas di distrik Iwur,
sudah 2 kali jembatan ini terputus, yang pertama jembatan putus akibat pohon
penopang tali jembatan di tebang karena masalah politik (pemilu bupati Pegunungan
Bintang), dan yang kedua adalah jembatan putus akibat di terjang banjir sungai
Digoel. Jika sudah seperti itu, masyarakat dibantu oleh anggota TNI menyambung kembali tali jembatan dengan pohon
lain yang ada di tepi sungai dan mampu menopang jembatan.
Siswa menyeberangi jembatan rotan |
Jembatan ini menjadi penghubung
utama perekonomian masyarakat Iwur. Sebab dengan jalur inilah masyarakat biasa
membawa hasil bumi atau bahan pokok dari kota dibawa masuk ke distrik jika
transportasi udara tidak lancar. Mereka memikul hasil bumi berupa
umbi-umbian,pisang, kacang, bahkan kayu bakarpun biasa mereka pikul melewati
jembatan yang tidak dapat digunakan untuk berpapasan. Jika menaiki jembatan ini,
kita hanya bisa berjalan setapak demi setapak, dan hanya boleh dilewati
maksimal 4 orang dewasa, jika lebih tali jembatan dapat mengendur kebawah dan
menyentuh air sungai atau parahnya lagi dapat putus.
Tak hanya laki-laki Papua yang
memikul barang dan melewati jembatan ini, namun mama-mama tangguh, remaja
bahkan anak-anak sudah terbiasa melangkahkan kaki di atas jembatan sambil
membawa barang. Subhanallah, langkah
mereka begitu cepat, tiada rasa takut ataupun lelah. Ya.. lagi-lagi kita para
pendatang memang tidak jauh unggul dari mereka.
1 9. Aspal di Bandara
Jika di Jawa kita dengan mudah melihat
aspal jalan raya, saat di pedalaman jangan harap jalan utama distrik memiliki
aspal. Disana hanya ada satu jalan aspal, yaitu bandara Iwur. Ini sudah jauh
lebih bagus dibandingkan distrik lain yang memiliki bandara namun tak ada aspal
pada jalur daratnya dan masih sekedar tanah lapang di atas bukit. Bandara ini pun memiliki keunikan sebab pada
kedua ujung jalurnya ada sungai besar, sehingga tak sembarang pilot dapat mengendalikan
pesawat di wilayah ekstris seperti ini.
Entah bandara ini mulai di bangun
tahun berapa, yang pasti ketika guru SM3T angkatan pertama masuk distrik Iwur
tahun 2013, aspal yang ada di bandara ini sudah ada. Tempat ini menjadi tempat
istimewa bagi kami para bendatang. Jalanannya yang lurus, membuat kita betah
jika melakukan jogging sore ataupun
pagi. Ditambah lagi dengan pemandangan sekitar yang sangat indah. Gunung-gunung
berpadu dengan birunya langit, seperti
lukisan alam yang tak tertandingi.
10. Tambahan Marga di setiap nama
Ketika saya membuka kelas dan memulai memanggil nama siswa satu persatu untuk presensi. Saya mulai bingung, sebab banyak siswa memiliki nama depan sama, atau memiliki marga yang sama. Asumsi awal saya mereka mungkin ada hubungan darah. Namun uniknya ternyata mereka banyak yang tidak ada hubungan darah. Mereka akan memiliki satu nama marga yang sama ketika mereka tinggal dalam satu rumah atau satu lingkungan marga.
Nama marga yang sering saya temui adalah Oropka. Berdasarkan narasumber yang sempat saya wawancara dan sesuai dengan tulisan guru SM3T Iwur angkatan pertama, Oropka adalah orang pertama yang tinggal di Iwur . Setelah saya amati memang orang dengan marga Oropka memiliki kedudukan, atau jabatan di kantor distrik. Mungkin karena dianggap tetua sehingga dimasukkan pada susunan pemerintahan. Kemudian marga Kapropka, yang merupakan marga dari ketua Organiasi Serikat Ekonomi Aman (OSEA) bernama Agus Kapropka. Anak dari bapak Agus mendapat tempat strategis untuk bekerja di Bank BRI yang ada di Kota Oksibil agar ada jaminan keamanan. Selanjutnya ada marga Walam, Okesan (orang yang keluar di dalam air) dan Bitip. Untuk marga bitip, ada salah satu anak Iwur yang sekarang sedang menempuh kuliah di Bandung dengan beasiswa penuh dari pemerintah, ia bernama Maret Bitip. Itulah marga-marga yang sering ku jumpai pada masyarakat, dan ternyata merekalah marga-marga utama dalam komunitas suku Murop yang ada di Iwur.
Ketika saya membuka kelas dan memulai memanggil nama siswa satu persatu untuk presensi. Saya mulai bingung, sebab banyak siswa memiliki nama depan sama, atau memiliki marga yang sama. Asumsi awal saya mereka mungkin ada hubungan darah. Namun uniknya ternyata mereka banyak yang tidak ada hubungan darah. Mereka akan memiliki satu nama marga yang sama ketika mereka tinggal dalam satu rumah atau satu lingkungan marga.
Nama marga yang sering saya temui adalah Oropka. Berdasarkan narasumber yang sempat saya wawancara dan sesuai dengan tulisan guru SM3T Iwur angkatan pertama, Oropka adalah orang pertama yang tinggal di Iwur . Setelah saya amati memang orang dengan marga Oropka memiliki kedudukan, atau jabatan di kantor distrik. Mungkin karena dianggap tetua sehingga dimasukkan pada susunan pemerintahan. Kemudian marga Kapropka, yang merupakan marga dari ketua Organiasi Serikat Ekonomi Aman (OSEA) bernama Agus Kapropka. Anak dari bapak Agus mendapat tempat strategis untuk bekerja di Bank BRI yang ada di Kota Oksibil agar ada jaminan keamanan. Selanjutnya ada marga Walam, Okesan (orang yang keluar di dalam air) dan Bitip. Untuk marga bitip, ada salah satu anak Iwur yang sekarang sedang menempuh kuliah di Bandung dengan beasiswa penuh dari pemerintah, ia bernama Maret Bitip. Itulah marga-marga yang sering ku jumpai pada masyarakat, dan ternyata merekalah marga-marga utama dalam komunitas suku Murop yang ada di Iwur.
11. Satu anak berambut lurus.
Di Iwur ada satu anak pribumi yang
memiliki rambut lurus seperti anak Jawa. Namanya Joshua, ia adalah anak dari
mantan kepala distrik Iwur yang menikah dengan orang asli Medan. Kedua orang
tuanya bertemu di Jakarta saat ada perjalanan tugas. Setelah pernikahan
tersebut, Mama Sandra (Ibu dari Joshua)
membuka kios di Distrik Iwur. Joshua
memiliki perawakan seperti anak-anak pada umumnya, namun perutnya tidak buncit
seperti anak asli Papua, dan rambutnya tidak keriting. Ia memiliki rambut lurus
dan kulit sawo matang. Meski memiliki perbedaan tampilan dan fisik, Joshua tetap bermain dengan nyaman bersama
anak-anak pribumi.
12. Tarian suku Murop yang medunia
Tarian dari suku Murop yang di tampilkan di Jerman |
Pada tahun 2012 ada prestasi yang
patut dibaggakan oleh warga distrik Iwur. Masyarakat Iwur yang notabenya adalah
dari suku Murop mendapat penghargaan untuk tampil di kancah internasional
dengan menampilkan tarian tradisionalnya. Mereka tampil dalam acara Pameran
Pariwisata Internasional ITB Berlin, yang berlangsung di Berlin, Jerman, 7
Maret 2012. . Mereka menampilkan tarian khas suku Murop yaitu Etol. Tarian ini biasanya
ditarikan di halaman bebas yang dimainkan secara berkelompok. Terdapat lebih
dari lima laki-laki yang berdiri melingkar
dan 2 perempuan yang memakai
Sawat duduk di tengah lingkaran. Mereka memakai atribut seperti sawat, koteka,
noken untuk baju penari perempuan, tifa, dan bulu kuning (bulu burung
cindrawasih) yang diikatkan di atas kepala.
Penari laki-laki memukul-pukul tifa dan berjalan dengan irama maju mundur sambil mengelilingi
perempuan yang hanya duduk diam di tengah. Tarian ini biasa ditampilkan saat ada
tamu agung, pesta adat, hari-hari besar misalnya Natal, Paskah, penjemputan
bupati, pelantikan kepala distrik, kepala suku dsb, yang diiringi lagu-lagu
adat.
Sebenarnya ada
banyak tarian tradisional khas suku Murop antara lain, Oksang, Etol, Lok,
Araruo, Janggi, Bar, Ngerom, Amsang, dan Jambir. Namun semua tarian tersebut memiliki
gerakan dan atribut yang hampir sama, hanya saja pola lantai yang digunakan
sedikit berbeda. Masih sangat minim informasi mengenai detail tarian adat khas
suku murop ini. Saat saya bertugas disanapun tak ada yang mampu bercerita
dengan detail mengenai latar belakang dari tarian tersebut. Bapak guru Agus
(asli Iwur) hanya memberikan informasi singkat dan beberapa foto hasil dokumentasi
saat masyarakat suku Murop menampilkan tarian Etol di depan perwakilan dari 176
negara lima tahun silam.
13. Tempat keramat di distrik Iwur
Salah satu tempat yang dikeramatkan di distrik Iwur |
Berdasarkan sumber informasi dari
masyarakat setempet dan anak-anak murid yang suka saya ajak jalan- jalan,
mereka menunjukkan beberapa tempat keramat yang jika kita melanggarnya kita
harus di derma (melakukan upacara adat) yang dipimpin oleh pemuka adat atau Ondo
Afi. Masyarakat di distrik Iwur memang masih sangat menjunjung tinggi adat yang
ada di alam, jika kita melanggar alam kita akan celaka / tertimpa musibah. Sering kali anak-anak setempat bilang “ Kalau kita melanggar nanti Alam marah…”
. Hal tersebut sejalan dengan tulisan
guru SM3T angkatan pertama yang juga bertugas
di distrik Iwur. Tempat-tempat
keramat tersebut antara lain:
a.
Jurngo (ujung timur lapangan terbang/bandara iwur)
b.
Kungbon (tikungan pertemuan sungai Iwur dan Digul)
c.
Iwur copmot (muara digul)
d.
Temdog rerung (dibawah rumah pak aloisius kepala
kampung)
e.
Katemot (tempat bertemunya kali katem dan sungai iwur)
f.
Kuptur betin (jembatan depan puskesmas)
g.
Rimmot (di kampung wetkim)
Meski begitu
bukan berarti kita dilarang bermain atau berkunjung ke tempat-tempat tersebut.
Kita boleh melewati ataupun mengunjunginya, hanya saja kita harus menjaga sopan
santun dan tidak melakukan tindakan tercela. Khusus untuk perempuan yang sedang datang bulan
dilarang untuk melewati tempat-tempat tersebut karena dianggap kotor. Sebagai
pendatang kita harus tetap taat akan aturan yang ada di lingkungan tempat
tinggal kita, termasuk mitos-mitos yang terkadang sulit diterima akal sehat.
Semoga Ibu sadar bahwa bendera tersebut hak milik tuan tanah New Guinea dan hanya dimiliki oleh Pegunungan Bintang untuk Bangsa Papua Ras Melanesia .
BalasHapusBagaimana dg sinyal dsana ibu?? Iya suami sy baru tugas disana...
BalasHapusIbu baru tahu ya
BalasHapusbagaimana situasi sekarang? 2010 - 2012 sy bertugas di iwur. tempat yang sangat indah & bersahabat...
BalasHapus