Kelas
Kehidupan
Menjalankan tugas mengajar di pedalaman Papua adalah
pengalaman paling berharga untukku. Sebuah anugerah terindah dari Tuhan karena
setahun mengajar aku merasa seperti satu tahun sekolah kehidupan di kelas yang istimewa
karena belajarnya sambil travelling . Guru yang mengajariku juga unik, tak pernah
dan tak akan ku temukan di pulau kelahiranku. Jika pada umumnya seorang guru
memberi kita contoh sesempurna mungkin, tapi kali ini aku melihat sisi guru
yang berbeda, mereka tampil apa adanya, dan tetap memberi didikan yang berujung
sama. Menginginkan hasil pendidikan yang baik. Ya. Aku belajar kehidupan
disana. Kelas istimewaku diajar oleh papa, mama, dan anak murid berusia sekitar
5 sampai 17 tahun yang memiliki kulit hitam dan rambut keriting. Mereka
mendidikku akan arti kehidupan, kesederhanaan, perjuangan, dan semangat.
Papua adalah mimpi bagiku. Sejak
kecil, Sekolah Dasar tepatnya, saat pelajaran IPS guruku membentangkan peta
Indonesia. Dari sabang sampai merauke berjajar pulau-pulau, itulah Indonesia.
Ada satu pulau yang bentuknya unik seperti hewan yang punya kepala, badan, dan
ekor. Saat aku membaca kekayaan alam yang ada dalam pulau itu, aku semakin
terpukau. Guruku bilang, di pulau papua semua banyak hutan, kekayaan alam
melimpah, dan belum di olah seperti di jawa. Dan ternyata semua itu benar, aku
menginjakkan kaki di tanah Papua yang istimewa. Masuk ke tengah pulau, di
antara bukit dan gunung-gunung, hingga menginjaakan kaki di daratan dan masuk
lagi ke dalam hutan. Sempurna. Aku berada di tengah badan pulau Papua. Distrik
Iwur kabupaten Pegunungan Bintang namanya. Lucu ya nama sekolahku...
Tanggal 25 Agustus 2015, aku pertama kali mengajar di
sekolah SD inpres Iwur. Dengan semangat dan percaya diri tinggi aku
memperkenalkan diri sebagai guru di SD Inpres Iwur. Berdiri di depan anak-anak
yang bersekolah tanpa alas kaki, rambut berjerami, dan ingus kental membentuk
angka 11. Lihat baju mereka, ada yang berseragam merah putih, ada yang pakai
baju bebas, dan terlihat sangat lusuh.
“Mereka sepertinya belum mandi” , ucapku dalam hati. Setelah perkenalan
dan melakukan observasi awal pada mereka,
aku termenung akan hasil yang ku dapat. Mereka adalah anak Indonesia
yang terjebak pada lingkungan hidup yang terisolir dari dunia luar, mereka juga
sangat merindukan sosok guru di depan kelas.
Kata Musa, murid kelas 5 , sejak bapak ibu guru SM3T pergi mereka tidak
ada yang belajar dengan baik. Hanya bermain bola saja yang bisa dilakukan di
sekolah. Sekolah ini memang hanya
memiliki 2 guru aktif (di atas kertas), yaitu bapak Agus, guru merangkap TU
sekolah, dan bapak Fredrikus yang menjabat sebagai kepala sekolah, tetapi
beliau bertempat di Jayapura, baru kembali ke Iwur jika ujian tiba.
Dengan keadaan seperti itu, wajar jika mereka terlihat
sangat tertinggal. Baca, tulis, hitung yang merupakan pelajaran pokok untuk
mereka masih belum di kuasai dengan baik. Sebelum aku datang, sudah pernah ada
guru bantu yang mengajar disana. Aku adalah angkatan ke tiga di distrik ini.
Namun, mendidik anak untuk memahami baca, tulis, hitung bukan hanya persoalan
waktu, tetapi juga konsistensi dalam belajar. Inilah tugasku saat ini, mereview
semua materi yang telah di ajarkan guru-guru lama dan memberikan materi baru
semampu mereka. Aku membuka almari yang
ada di dalam kelas, berharap ada buku yang dapat ku jadikan panduan dalam
belajar. Maklum saat berangkat aku tidak sempat membawa buku pelajaran karena
belum tahu tempat tugas juga. Namun, betapa terkejutnya hati ini saat melihat
dan mendapati buku paket dalam jumlah banyak namun telah banyak yang rusak dan
kurikulum masih 1996.
Miris melihat keadaan anak-anak di
sekolah. Lingkungan masyarakat yang masih kurang sehat, pendidikan yang masih
sangat jauh tertinggal. Berarti keadaan ini sudah jauh lebih baik dibanding 3
tahun silam. Bagaimana jika tidak ada guru bantu sama sekali di distrik ini??,
bagaimana nasib anak-anak ??
“Selamat
siang ibu guru..” terdengar suara lelaki menyapaku.
Segera ku buyarkan lamunanku dan membalas
sapaan ramahnya. Ternyata ada anak murid bermain ke rumahku. Aku yang saat itu
sedang menggambar di teras rumah sedikit
terkejut akan kehadiran mereka. Aku
memang masih menyesuaikan diri dengan keadaan disini, aku juga masih belajar
menghafal stu persatu nama siswa, karena merekla memiliki bentuk fisik yang
hampir sama satu sama lain, antara laki-laki dan perempuan saja aku kesulitan
membedakan. Saat itu ada 8 anak yang datang ke rumahku, mereka bernama
Yunus, Vero, Hermina, Ria, Natal, Manase,
Aprila, dan Emilin.
“Ibu
guru, sedang apa e...” tanya Ria.
“Lagi
gambar, kalian mau kemana?” tanyaku sambil menutup buku gambar.
“Wah
ibu guru gambar bagus e... ajari kita gambar ibu..” pinta ria.
“Boleh...
besok di sekolah kita gambar ya...” jawabku dengan semangat. Mungkin dengan media menggambar aku dapat menyampaikan materi dengan mudah. Tanpa
buku paket sekalipun sepertinya aku bisa menyampaikan materi pelajaran untuk
mereka. Ide yang bagus.
Sore itu ku isi dengan bergurau bersama anak-anak di
teras gedung sekolah SMP sambil melihat anak-anak bermain bola. Dengan
berbincang dengan mereka, aku terhipnotis untuk segera dapat bertindak. Berbuat
sesuatu yang mungkin bisa ku lakukan bersama mereka. Ide mulai bermunculan di
otakku dan ingin segera di eksekusi. Sabar-sabar...masih banyak waktu.
Meski di sekolah sangat terbatas buku paket, aku tetap
menyampaikan materi yang mungkin bisa dan dapat di terima anak-anak dengan
baik. Dengan media gambar, aku menyampaikna semua materi pelajaran IPA, IPS,
PKN, Bahasa, Matematika, dll. Semua materi ku singkronkan dengan apa yang ada
di sekitar mereka, agar mereka lebih mudah mencari reverensi materi. Dalam
pelajaran IPA misalnya, aku mengajari mereka tentang tumbuhan, mengenali bentuk
akar, batang, daun, dan buah. Sehingga mereka dapat mengamati tumbuhan yang ada
pada lingkungn mereka, lalu membuat gambar dan menempelkannya di dinding kelas.
Cukup sederhana, namun lebih mengena di hati anak-anak.
Tak lupa, aku juga mengenalkan Indonesia pada mereka.
Bagiku, ini misi besar. Merekalah yang akan menjaga batas timur bumi Indonesia,
jika mereka tidak mengenal Indonesia bagaimana mereka akan menjaga?. Agar rasa
cinta tanah air tersebut tertanam di hati siswa, sebelum masuk kelas mereka
harus menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu nasional lainnya. Mereka
bertepuk tangan dengan kompak dan keras, berteriak lantang menyanyikan lagu
kebangsaan dengan logat mereka. Tak jarang hati ini tersentuh saat mendengar
suara nyanyian mereka. Saat pelajaran
aku juga sering menghubungkan semua pelajaran dengan Indonesia. Misalnya saja
saat pelajaran PKN, aku meminta mereka menggambar suasana upacara bendera hari
senin, dan meminta mereka menuliskan apa saja yang dilakukan saat upacara
bendera. Dengan begitu mereka memahami makna akan sebuah upacara bendera.
Minggu ini di gereja ada acara bakar batu, kami bapak
ibu guru juga di undang untuk turut makan bersama di gereja. Aku sempat
berfikir dan menyiapkan alasan yang tepat jikalau nanti di ajak untuk makan
daging babi, karena di tempat tugas ini aku menjadi kaum minoritas, rata-rata
penduduk di distrik ini memang beragama katolik, Saat sampai di tempat acara,
betapa terkejutnya aku dan teman-temanku. Ternyata masyarakat telah menyediakan
bakar batu khusus untuk kami, yaitu daging ayam. Toleransi memang telah tumbuh
di tanah ini. Mungkin karena telah ada guru bantu yang beragama muslim sehingga
masyarakat dapat menyesuaikan diri. Inilah hasil perjuangan kakak-kakak guru
bantu yang telah bertugas lebih dulu di distrik ini. Dan sekarang tugasku untuk
melanjutkan perjuangan tersebut.
Semua butuh waktu dan proses yang panjang untuk
merupah pola hidup mereka. Namun, entah mengapa di tengah-tengah perjalanku
mengapdi di distrik ini, membuatku tersadar bahwa aku tak memiliki apapun untuk
ku banggakan di hadapan mereka. Mereka yang memiliki kearifan lokal mengajariku
untuk menghargai kesederhanaan dalam menjalani hidup. Mereka memang hidup
sederhana, sangat sederhana malah, namun mereka tetap dapat menikmati kehidupan
ini dengan penuh keceriaan. Berbeda dengan mereka yang ada di kota, mereka yang
lebih banyak menemukan kemudahan, terkadang lupa untuk bersyukur atas apa yang
telah mereka miliki, karena pikiran mereka terlalu sering melihat ke atas dari
pada ke bawah. Mereka juga sangat
menghargai perbedaan dan orang-orang luar papua yang ingin mengapdi di sana. Aku
sangat merasakan hal itu, guru di tempat ini bagaikan malaikat baik hati yang
selalu di rindu. Kasus ini sangat berbeda dengan para siswa di jawa yang
terkadang kurang menghargai guru. Bagi mereka disini guru adalah sumber ilmu
utama yang tidak boleh di abaikan.
Aku sadar, satu tahun mengajar tak dapat membuat
perubahan besar disana. Namun aku yakin, nilai yang telah ku tebar ini akan
merasuk ke hati siswa dan dapat dinikmati hasilnya minimal 5 tahun kedepan. Hanya merekalah yang mampu menjaga merah
putih tetap berkibar di ujung timur Indonesia.
Bagiku mereka adalah guru kehidupan, anak-anak, mama, dan papa, semua
secara tak langsung telah mendidikku untuk lebih kuat, dan mandiri.
Keterbatasan menjadikan mereka manusia kuat yang tak mudah menyerah dengan
keadaan. Pada awalnya aku merasa sangat
di butuhkan disini, dan aku tidak terlalu membutuhkan masyarakat. Selang waktu
berjalan, aku merasa malu karena
sebenarnya aku yang banyak belajar dari mereka dan sangat bersyukur dapat
menikmati kelas istimewa ini. Kelas kehidupan yang penuh dengan keterbatasan
namun menghasilkan jiwa-jiwa yang kuat.
Komentar
Posting Komentar